Mempertahankan Nilai-nilai Kebudayaan Oleh : Christo Abdiel Gandang @RecehEdu


 Dewasa ini wacana tentang kebudayaan menggerakkan pemikiran orang banyak, dalam berbagai latar belakang disiplin ilmu. Karena fenomena kebudayaan menyangkut ide, gagasan, pola pikir, rasa dan perilaku manusia, manusialah pelaku kebudayaan. Sejak abad ke-16 hingga 19, budaya mulai diterapkan dalam pengembangan akal manusia, maka muncullah istilah “berbudaya” dan “tidak berbudaya”.  Hal ini terus dikembangkan hingga pada periode dimana istilah budaya diterapkan dalam entitas besar yakni masyarakat. sejauh ini terlihat bahwa seiring waktu berubah kita pun ikut berubah. Pola pikir, rasa, dan perilaku manusia yang adalah budaya sendiri ikut berubah. Kita hidup di tengah-tengah kompleksitas dan banyaknya budaya, yang kemudian secara terus-menerus melahirkan budaya yang baru. Budaya itu dinamis dan majemuk.
Pada proses perkembangannya, budaya menjadi “penakluk” bagi budaya lain, yang dimana nampak bahwa adanya suatu kebudayaan yang superior dan kebudayaan inferior. Jika melihat kembali pada masa-masa colonial yakni dalam praksis pekabaran Injil bahwa orang-orang Eropa yang mengkristenkan orang-orang yang bukan Eropa kemudian menerapkan budaya mereka. Dengan dalih meningkatkan kualitas masyarakat dengan harapan masyarakat tersebut akan menjadi seperti mereka (meng-eropa-kan yang bukan eropa). Istilah going Native juga terkenal dikalangan antropolog Barat. Istilah ini merupakan suatu ejekan ketika seorang antropolog yang meneliti masyarakat kemudian menjadi bagian dari masyarakat pribumi yang ditelitinya. Ia dianggap “takluk” terhadap kebudayaan pribumi yang ia teliti dan bagi orang Barat dengan segala keyakinannya bahwa budaya mereka  lebih superior yang kemudian mengucilkan budaya pribumi. 
Kebudayaan adalah penciptaan, penertiban dan pengelolaan nilai-nilai insani. Yang didalamnya upaya mengelolah alam, menyempurnakan hubungan sosial dalam masyarakat serta mengidentifikasi nilai-nilai dan dikembangkan sehingga sempurna. Hal yang nampak paradoks bahwa  budaya itu dinamis dan perlu penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Kendalanya yaitu kehadiran budaya pop mulai menggeser budaya lokal jika tidak menerima budaya tersebut maka nampak ketinggalan zaman. Disatu sisi budaya lokal merupakan warisan secara turun-temurun yang harus terus dijaga karena mengandung tataran nilai yang positif dan membangun dalam konteks Indonesia. Nilai dalam setiap orang atau kelompok adalah sesuatu yang berharga dan menjadi acuan dalam tindakan. Nilai-nilai itu kemudian ditumbuhkan melalui konsep kebudayaan yang dihayati sebagai jagat makna hidup dan diwacanakan serta dihayati dalam jagat simbol. nilai itu kemudian mengalami “transformasi” ketika berjumpa dengan realitas baru. Misalnya dalam kebudayaan agraris yang dikenal dengan rutinitas teraturnya yaitu menanam saat musim hujan dan menuai pada musim panas dan hal ini dilakukan secara kolektif. Kemudian masyarakat kolektif ini berjumpa yang kemudian diperlawankan dengan masyarakat individualis.
Penulis mengutip pernyataan dari Firth yaitu jika masyarakat dianggap sebagai sekumpulan individu yang terorganisir melalui cara hidup yang diketahuinya, maka budaya merupakan pengetahuan dari cara-cara hidup seperti itu. Jika kemudian masyarakat dianggap sebagai suatu kesatuan hubungan-hubungan sosial, maka budaya merupakan isi dari hubungan-hubungan tersebut. Artinya bahwa budaya itu terkandung nilai-nilai yang mengatur sekumpulan individu yang terorganisir itu dan hubungan-hubungan sosialnya. Nilai-nilai inilah yang kemudian akan hilang ketika dengan mentah menerima budaya luar. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai yang dibangun itu berdasarkan budaya yang dimiliki Indonesia atau budaya lokal. Adalah suatu kesalahan jika mengatakan bahwa orang-orang yang hidup di alam primitif dipersepsikan sebagai orang-orang hanya percaya pada hal-hal mistik, atau dengan kata lain persepsi mereka adalah mistik. Disisi lain bisa dikatakan bahwa orang-orang itu hanya memperhatikan fenomena kehidupan dengan cara menggunakan pemikiran yang bersifat mistik kemudian mereka mewarisi kepada masyarakatnya. Untuk menghidari hal ini juga bahwa budaya lokal ini menyesuaikan perkembangan zaman entah itu dari segi ekonomi, politik, dan lain sebagainya, hanya saja ketika budaya lokal berjumpa dengan realitas tersebut budaya keindonesian yang memiliki nilai-nilai yang membangun dalam konteksnya hilang. Akibatnya Indonesia kemudian menerima budaya luar yang kontradiktif sifatnya dengan budaya lokal keindonesiaan.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar